Jumat, 08 April 2011

Para Korban Malpraktek dan Yang Tak Berdaya Menghadapi Sakit Di Tengah Kemiskinan.

Pada tahun 2008, Indonesia mencanangkan kampanye anti berobat keluar negeri. Sekitar 600 juta USD per tahun, mengalir dari kocek orang indonesia hanya untuk berobat ke negeri orang. Ironisnya, pada oktober 2010, didukung oleh presiden SBY, menteri kesehatan kita Endang Rahayu Ningsih justru berobat ke luar negeri. Guangzhou–Cina, menjadi negeri tujuan. Sang ibu menteri pun sempat merahasiakan kisah sakit dan kepergian berobat ke luar negerinya tersebut. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di dunia pelayanan kesehatan di Indonesia? Kenapa bahkan seorang menteripun enggan berobat di negerinya sendiri? Ada apa dengan layanan kesehatan di negeri kita ini? Kenapa masih banyak terjadi kasus malpraktek dan pengabaian terhadap hak kesehatan?

Sesungguhnya, sesulit apakah upaya pencarian akan kesehatan dan keadilan di bidang layanan kesehatan di Indonesia? Jawabannya: sesulit mencari jarum dalam tumpukan jerami. Yang miskin masih dibiarkan tak memiliki akses terhadap layanan kesehatan, yang kaya mencari layanan kesehatan di luar negeri, sementara para korban malpraktek yang terlanggar haknya dan berusaha mencari keadilan, hampir semuanya berakhir pada titik nol. Konspirasi hening yang teranyam dalam tubuh korps kedokteran di Indonesia telah begitu kuat, sedangkan hak pasien seolah sengaja didiamkan dan terbiarkan tanpa perlindungan oleh pemerintah.

Sabtu, 02 April 2011

PERUBAHAN PATOLOGI BIROKRASI KE ETIKA PEMERINTAHAN MELALUI PRINSIP GOOD GOVERNANCE

Reformasi dalam amanatnya menegaskan bahwa hapus praktek korupsi, kolusi dan nepotisme sebagai konsekuensi dari tuntutan masyarakat dan tuntutan perubahan paradigma. Sektor publik dalam perubahan paradigma barunya telah menegaskan pula bentuk dan model birokrasi yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, transparan dan pengelolaan administrasi yang akuntabel, melalui perubahan sistem dan pemangkasan struktur birokrasi serta model administrasi dan pemerintahan yang baik (good governance).
Fenomena menarik untuk dicermati dan diangkat kepermukaan adalah, masih adanya praktek-praktek penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab pada tingkat managerial birokrasi, sehingga indikasi ke arah paradigma baru pemerintahan dan etika pemerintahan dalam penilaian publik belum sesuai dengan amanat reformasi.
A. Good Governance Sebagai Agenda Reformasi.
1. Patologi dan Birokrasi
Patologi merupakan bahasa kedokteran yang secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang penyakit”. Sementara yang dimaksud dengan birokrasi adalah : "Bureaucracy is an organisation with a certain position and role in running the government administration of a contry" (Mustopadijaja AR., 1999). Dengan demikian dapat dilihat bahwa birokrasi merupakan suatu organisasi dengan peran dan posisi tertentu dalam menjalankan administrasi pemerintah suatu negera.
Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA., (1988) mengatakan bahwa pentingnya patologi ialah agar diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh manusia,……Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi. Artinya agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul baik bersifat politi, ekonomi, soio-kultural dan teknologikal………
Risman K. Umar (2002) mendifinisikan bahwa patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi.
Lebih lanjut Sondang P. Siagian (1988) menuliskan beberapa patologi birokrasi yang dapat dijumpai, antara lain :
• Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab
• Pengaburan masalah
• Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme
• Indikasi mempertahankan status quo
• Empire bulding (membina kerajaan)
• Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko
• Ketidakpedulian pada kritik dan saran
• Takut mengambil keputusan
• Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi
• Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif,
• Minimnya pengetahuan dan keterampilan, dll.
2. Good Governance
Secara etimologi good adalah “baik” dan governance adalah “kepemerintahan”, jadi good governance dapat diartikan “kepemerintahan yang baik”. Word Bank mendefinisikan sebagai the way state power is used in managing economic and social resources for development of society. Dari definisi ini dapat dilihat bahwa good governance merupakan suatu jalan atau cara dalam mengatur ekonomi, sumber daya sosial untuk membangun atau mengembangkan masyarakat.
UNDP memberikan definisi good governance sebagai hubungan yang sinergi dan konstruktif di antara negara, sektor swasta dan msyarakat. Adapun karakterisitik good governance menurut UNDP (dalam LAN dan BPK dan Pembangunan 2000), adalah:
• Participation. Ssetiap warganegara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung mapun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingan. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartsipasi secara konstruktif.
• Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak azasi manusia.
• Transparancy. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitoring.
• Responsiveness. Lembaga-lembaga atau proses-proses harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders.
• Equity. Semua warganegara, mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
• Effectiveness and efficiency. Proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.
• Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
Strategic vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai prespektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.